Fara Kecil Oleh Surya Sari Faradiba Penulis adalah siswa SMUN 3 Malang Aku mengira aku akan berhenti mencintaimu besok. Tapi setiap besok itu datang, aku mendapati diriku masih mencintaimu. Aku melihat ke belakang tentang segala yang indah dan semua yang menyakitkan. Kulihat di sana ada kau, aku, dan dia. Akupun memandang jauh ke depan tentang semua yang tidak kutahu dan belum terjadi. Aku tak melihat apa pun selain bayangan samar. Antara kebahagiaan yang bleum pasti dan luka yang tak tersembuhkan. Aku bertanya-tanya, seandainya Tuhan tidak menciptakan bulan untuk bintang, lalu mengapa malam ini kumelihat bulan dan bintang di satu langit? *** Aku tak habis pikir. Mengapa hubungan yang telah berjalan 4 tahun dengan mudahnya terputus karena keegoisan manusia-manusia seperti aku, Willy, dan Rosa. Aku tak tahu cinta macam apa yang kurasakan ini. Usiaku baru 13 tahun saat aku sadar bahwa aku sungguh mencintai Willy. Dan apa yang didapat dari cinta seorang gadis yang baru lulus SD kalau bukan cinta monyet. Semua orang pasti berpikiran seperti itu, bahkan aku juga. Walau pada kenyataannya aku masih mencintai Willy hingga kini, hingga kami telah berpisah sekian lama. *** Di ulang tahunku yang ke-17, Willy datang bersama Rosa, gadis yang pernah kukagumi karena kepribadiannya sekaligus kucemburui karena cintanya. Saat itu, Fara kecil belum mampu menerima kenyataan jika orang yang dicintainya, mencintai temannya sendiri. Di hatinya, hanya ada rasa telah diperlakukan tidak adil. *** Aku melangkahkan kaki keluar untuk menemui Willy dan Rosa di teras rumah. Acara tiup lilin dan potong kue yang sengaja kuundur untuk mereka berdua ternyata sia-sia. Mereka menolak untuk masuk dan mengikuti acara ulang tahun. Jujur aku bilang, saat itu hatiku tak ada lagi rasa marah pada mantan pacarku maupun gadis yang berdiri di sampingnya. Seperti beberapa bulan lalu ketika aku baru tahu ternyata ada "sesuatu" di hati mereka. Sebutan Fara kecil itupun luntur dan malam itu aku benar-benar merasa 17 tahun. Entah mengapa aku ingin terus mencintai mereka, Willy dan Rosa, temanku, yang orang bilang telah merebut pacarku. Dulu aku pernah mencintai Willy sebagai pacarku dan Rosa sebagai temanku. Dan, saat keadaan berubah menjadi seburuk apa pun untukku, aku tak pernah bisa berhenti mencintai mereka. Apa yang telah mereka berikan padaku? Apa yang telah mereka lakukan untuk kebahagiaanku? Dan apa-apa yang lainnya. Aku tak pernah peduli. Aku tidak butuh satu alasan pun untuk mencintai. Ketika aku membuka kado dari mereka, aku sangat terkejut karena kudapati surat-surat yang pernah kutulis dan semua yang mengingatkan Willy dan Rosa akan diriku. Mereka mengembalikan kenangan itu seolah-olah mereka mau menghapusku dari kehidupan mereka. Tiba-tiba aku merasa gejolak emosi Fara kecil kembali merasuki tubuh ini. Aku berlari ke kamarku. Aku tak peduli lagi apa yang akan mereka pikirkan tentang diriku. Saat itu aku benar-benar tak butuh anggapan Willy maupun Rosa. Aku hanya ingin tak ada yang tahu aku menangis di malam yang seharusnya aku bahagia. *** Aku berada di kamarku dengan beberapa orang teman. Mereka menggenggam tanganku, merangkul bahuku, dan berkata semua akan baik-baik saja. Wajah mereka menyiratkan kesedihan seolah-olah merekalah yang telah terbuang. Sementara itu, alunan musik terdengar jelas dari luar. Pesta ulang tahunku tetap berjalan meski tanpa aku. Aku tak mengira, ternyata hanya butuh lima menit untuk menangisi semua yang baru terjadi. Dan akupun tersenyum kembali. Kuletakkan kado dari Willy dan Rosa yang sedari tadi kugenggam di atas tempat tidurku. Kulangkahkan kedua kakiku keluar kamar, membaur bersama teman-temanku dan menikmati kebahagiaan yang sempat tertunda. Acara tiup lilin dan potong kue terasa lebih menyenangkan. Lagipula Tuhan ternyata tidak setega itu membiarkanku kesepian. Tuhan memberiku kebahagiaan dari seorang anak laki-laki yang lain di malam perayaan ulang tahunku. Dia menyalamiku. Dan pipi kami bertemu. Sekilas aku teringat kejadian beberapa waktu lalu, saat dia membersihkan wajahku yang belepotan krim kue tart yang kumakan dengan jari-jari tangannya. Aku tak tahu siapa anak laki-laki yang ada di hadapanku ini. Terkadang aku mengira dia adalah jawaban dari semua doaku. Seseorang yang dikirim untuk menyembuhkan luka hatiku karena Willy. Saat di kelas, diam-diam aku juga sering memperhatikannya. Tak jarang mataku bertemu dengan matanya tanpa sengaja, dan tentu saja diikuti dengan senyumnya yang seperti anak kecil. Senyum polos yang tak dibuat-buat. Dan apa yang bisa kulakukan selain membayar senyumannya dengan tawa kecil serupa. Malam ini saat aku hendak tidur, aku membayangkan sosoknya. Tapi yang ada di kepalaku hanya bayangan seorang anak laki-laki 17 tahun dengan tinggi 15 cm di atasku dan senyum polos yang tak dibuat-buat. Sejenak kuterhenyak, kusadari aku tak mendapati cinta dalam bayangan yang kubuat sendiri. Aku juga menyadari bahwa aku hanya menyukainya, mengaguminya, tapi tak pernah mencintainya. Seiring itu pula aku menyadari kado itu tak ada di tempat tidurku. Kado dari Willy dan Rosa tentang masa lalu kami itu hilang. Mungkinkah Tuhan yang mengambilnya? *** Perayaan ulang tahunku berakhir dengan indah, sesuai harapanku. Kini aku telah mampu memandang cinta dari sisi yang berbeda. Cinta seorang gadis yang baru lulus SD berubah menjadi cinta seorang gadis 17 tahun yang telah berhasil melewati masa-masa sulit. Aku tak lagi marah atau membenci Willy dan Rosa. Aku juga tak lagi bersedih karena mereka telah membuangku dari kehidupan mereka. Fara kecil telah pergi, bahkan benar-benar pergi. Diriku yang sekarang mengucapkan terima kasih karena telah membuat aku menjadi seorang gadis yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan puisi yang kutulis dulu hanya tinggal puisi yang akan selalu mengingatkanku pada kenangan Fara kecil dan seorang teman baik serta laki-laki yang dicintainya. Willy dan Rosa akan ada di hatiku selamanya. Mereka adalah berkah yang sempurna. Willy dan Rosa adalah orang-orang yang Tuhan kirimkan untuk mengubah hidupku menjadi lebih indah. Dan akupun mulai bernyanyi, nyanyian yang kubuat dari sajakku dan Willy dulu. Kutitipkan hatiku padamu, namun jika kau tak mampu maka aku akan berlari sejauh-jauhnya. Aku tahu cerita ini belum berakhir. Karena aku masih hidup, aku masih tahu bagaimana mencintai seseorang. Dan, karena aku belum ingin mengakhirinya.